tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut insiden perempuan berpistol hendak menerobos ring satu Istana Kepresidenan, Jakarta, bukti bahwa radikalisme masih ada di Indonesia.
"Itu bukti bahwa radikalisme masih ada. Akarnya adalah ketidakmauan menerima kesepakatan hidup bernegara," kata Mahfud usai memberikan kuliah umum di Auditorium Universitas Jember, Jawa Timur, Jumat (28/10/2022) sore dikutip dari Antara.
Menurutnya, radikalisme memiliki bentuk yang beragam, misalnya mencibir orang lain yang berbeda, ada yang masuk ke kurikulum, menyusup ke lembaga pendidikan, kemudian melakukan tindakan kekerasan seperti mengancam, mengebom, dan lain sebagainya.
"Kejadian tersebut merupakan bukti bahwa radikalisme dengan berbagai ancamannya masih harus diwaspadai di Indonesia, meski pun itu kecil," jelas Mahfud.
Ia menjelaskan radikalisme harus diartikan sebagai sikap dan sebuah paham bahwa yang benar hanya ideologinya sendiri, dan yang sudah disepakati harus dibongkar dengan berbagai cara.
"Menangkal tumbuhnya radikalisme di kalangan generasi muda harus dimulai dari lembaga pendidikan. Bahwa negara itu adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dapat memberikan kita kesempatan untuk maju seperti sekarang," ucap dia.
Mahfud menjelaskan, nilai dasarnya adalah Pancasila sebagai kesepakatan bersama, karena dalam bahasa agama, Pancasila adalah janji suci dan nilai instrumentalnya, aktualisasinya bisa dilakukan dengan apa pun seperti di media sosial, tapi nilai dasarnya tidak berubah.
"Untuk itu lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi bertugas menguatkan Pancasila sebagai nilai dasar," terang Mahfud.
Seorang perempuan bernama Siti Elina nekat mendekat ke ring satu Istana Kepresidenan dan menodongkan pistol jenis FN ke petugas Paspampres. Alhasil perempuan tersebut langsung ditangkap bersama-sama anggota kepolisian.
Kini perkara tersebut ditangani Densus 88 Antiteror setelah sebelumnya di Polda Metro Jaya. Pengambilalihan penanganan kasus sudah berlangsung sejak Rabu (26/10/2022) lalu.
Kepala Bagian Bantuan Operasi (Kabagbanops) Densus 88 Antiteror, Kombes Pol Aswin Siregar menyebutkan pihaknya menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus Siti Elina. Ketiga tersangka yakni Siti Elina sendiri, Bahrul Ulum (37) suami Siti Elina, dan Jamaluddin, guru mengaji Siti Elina.
Menurut Aswin penetapan suami Siti Elina sebagai tersangka berdasarkan hasil pengembangan dari pemeriksaan terhadap pelaku utama. Namun penetapan tersangka Bahrul Ulum untuk perkara berbeda.
"Suaminya betul (tersangka), kami melihat dua perkara. Yang pertama tersangka Siti memang dia ada ancaman kekerasan ke tempat yang semestinya mendapat penjagaan ketat. Kalau suaminya pengembangan dari permasalahan yang dihadapi oleh Siti Elina," ucap Aswin.
Aswin menjelaskan, suami Siti Elina terindikasi terlibat dengan jaringan Negara Islam Indonesia (NII). Tetapi tidak ada kaitannya dengan Siti dalam rangka ke Istana.
"Suaminya tidak ada kaitannya dengan peristiwa Siti ke Istana, tapi dia terlibat dalam jaringan NII yang dimana NII kan memang sudah dinyatakan terlarang dari dulu," terang Aswin.
Suami Siti Elina, kata dia, sudah berjanji setia (baiat), mengakui keberadaan dan berdirinya NII. Tidak terlibat dalam struktur NII, tetapi sering membantu dan mendampingi bendahara NII.
Sedangkan, guru mengaji Siti Elina, Jamaluddin ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan doktrin terhadap murid mengajinya ini.
Para tersangka disangkakan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Saat ini status ketiganya masih dalam proses penangkapan dan belum dilakukan penahanan, sesuai Undang-Undang Terorisme masa penangkapan selama 14 hari.